BUNGAH | NUGres – Gerimis tipis menepuk-nepuk atap “Fakultas Kopi” nama sebuah kedai yang berdiri di kompleks Universitas Qomaruddin (UQ) Gresik. Tempat ini tidak hanya menyuguhkan secangkir kopi dan macamnya, namun kerap kali menghadirkan berbagai diskusi ilmiah.
Kali ini, ruang diskusi publik bernamakan Majelis Ya Kafi Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik kembali digelar, Sabtu (9/3/2024) malam. Tema yang diketengahkan yaitu “Tradisi Musyawarah Kitab di Sampurnan”.
Dua narasumber dihadirkan untuk berbagi perkembangan dan membaca tantangan Tradisi Musyawarah Kitab di kalangan para santri. Kedua narasumber tersebut ialah Ustadz Imam Bashori Kepala Madarasah Diniyah Pondok Pesantren Qomaruddin dan Ustadz Abdul Wajid Al Fahmi selaku Ketua Pondok Pesantren Qomaruddin.
Ustadz Imam Bashori dalam kesempatan itu membagi kenangan di tahun 2000-an yang sering mengantar almaghfurlah KH. Iklil Sholih menghadiri forum Bahtsul Masail di sejumlah wilayah Gresik. Kiai Iklil, kata dia, kala itu merupakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Gresik.
“Pada waktu itu tokoh-tokoh Bahtsul Masail yang saya kenal, termasuk Kiai Ainur Rofiq. Termasuk juga Kiai Masbuhin sendiri yang waktu itu memang termasuk yang sepuh-sepuh, Kiai Kholil Karim, Kiai Zubair (Bungah). Bahkan Kiai Zubair ini ketika akan ada bahstul masail PC itu kumpul di ndalem beliau dan menjadi pengarah dan memberikan petunjuk kitab” kenang Ustadz Imam Bashori.
Dalam paparan kisah yang ia lalui, Ustadz Imam Bashori menyimpulkan bahwa penguasaan beberapa fan keilmuan termasuk bahasa Arab, nahwu dan shorof, serta mengenal beberapa kitab, ini akan sangat diperlukan, agar tidak terjadi debat kusir, di forum Bahtsul Masail.
Sedangkan, dirinya membaca tantangan serius bagi generasi mendatan, pada permulaan proses atau sebelum menjadi intelektual Bahtsul Masail. Permulaan itu ialah Musyawarah Kitab Santri.
“Problem yang sekarang ini, ternyata (santri) kita takut untuk megang kitab kuning. Takut untuk membahas kitab kuning. Dan mengatakan diri kita itu nggak bisa baca kitab kuning, itu lho yang paling repot. Sehingga apa? Musyawarah yang mengarah pada musyawah kitab ini belum terlaksana. Saya katakan tidak mengatakan tidak terlaksana, belum terlaksana. Sebab ada ketakutan itu,” jelasnya.
Solusi atas problematika tersebut juga disampaikan Ustadz Imam Bashori, di antaranya perlu alat maupun metode yang cocok sehingga dapat memicu motivasi para santri agar Musyawarah Kitab ini bergelora kembali. Musyawarah Kitab merupakan proses berlatih bagi para santri pemula sebelum nantinya terjun dalam skala yang lebih luas lagi yaitu forum Bahtsul Masail.
Sementara, Ustadz Wajid memperkokoh argumentasi tentang pentingnya Musyawarah Kitab Santri. Menurutnya, musyawarah kitab dapat memperkaya keilmuan serta untuk mengetahui sejauhmana seorang santri dapat menyerap dan menjelaskan ulang karya para musannif (pengarang kitab).
Tradisi musyawarah kitab paling sederhana itu, kata Gus Wajid demikian ia disapa, dimulai dari murod kitab, ngasah kitab dari kiai, hingga menarkib juga menambal makna yang tertinggal. Sedangkan pembiasan musyawarah kitab ini dapat memberi nilai tambah, bahkan interaksi yang dilakukan dari aktifitas ini bagi santri yang tidak aktif berbicara dapat merekam banyak hal. Sehingga akan memperkaya khazanah keilmuan para santri.
Gus Wajid juga sedikit memberikan sedikit perbedaan kemasan antara musyawarah kitab dan forum bahtsul masail. Di mana tradisi musyawarah kitab di kelas-kelas lebih sederhana yang interaksinya langsung terhubung dengan guru wali kelas sebagai perumus.
“Musyawarah itu memang bukan hanya menyampaikan pendapat, melainkan wadah yang sangat kuat akan literasi. Karena ketika dalam forum musyawarah sebagus apapun pendapat dan gagasan tetapi kalau tidak didasari Ta’bir, mentah. Gak diterimo. Maka di pesantren pembelajaran akan literasi itu sangat kuat sekali, setiap pendapat harus ada Ta’bir halaman berapa kitab apa,” ujarnya.
Di pesantren dulu, kata Gus Wajid, menampilkan diskusi yang sangat kuat dan bagus. Hanya saja, ada kelemahan dalam hal tulis menulis santri dulu. Tapi sekarang, pesantren dalam hal tulis menulis sudah mulai baik sekali.
“Karena memang argumentasinya harus berupa kitab, otomatis kudu pinter moco kitab. Tapi nek santri, arek pemula-pemula ya memang pembelajarannya sing penting wani ngomong, bah ngomong opo ae. Bah moco kitabe keliru, moco ta’bire gak nyambung dijarno ae sing penting wani ae, nek pertama-pertamae niku ngoten. Terus karena memang alasannya itu adalah harus bisa membaca kitab, maka yang kita dasari adalah memang cara mengajari anak membaca kitab secara baik. Nah metode-metode pembacaan kitab itu banyak seperti yang sudah disampaikan Pak Imam tadi,” ungkap Gus Wajid.
Di penghujung dialog tentang Tradisi Musyawarah Kitab di Pondok Sampurnan, jamaah Majelis Ya Kafi yang hadir diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan tanggapan maupun pertanyaan kepada kedua narasumber.
Sebagai informasi kegiatan ini juga diarsip di Youtube Pondok Qomaruddin juga nampak hadir Ketua Rabitah Ma’ahid Islamiyah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Bungah, Ketua PAC GP Ansor Bungah bersama jajaran, serta perwakilan dari sejumlah pondok pesantren di sekitar Sampurnan, para alumni Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah dan warga masyarakat umum.
Editor: Chidir Amirullah