BUNGAH | NUGres – Ahad pagi, tepat pukul 07.00 WIB pada 11 Februari 2024, halaman Tsamrotul Ulum Desa Tajungwidoro Kecamatan Bungah Gresik terlihat semarak. Madrasah yang berjarak tak kurang dari 13 kilometer dari Jalan Raya Daendles Gresik itu memperingati Hari Lahir (Harlah) yang ke-68.
Bagi warga Madrasah Tsamrotul Ulum, peringatan Harlah ke-68 ini bukan sekadar seremonial belaka. Akan tetapi menjadi momentum istimewa untuk menilik kembali hadirnya fungsi madrasah dari waktu ke waktu. Terlebih yang dirasakan oleh masyarakat Desa Tajungwidoro.
Berdasar penelusuran penulis, Tsamrotul Ulum berdiri sejak 10 Februari 1956 silam. Lembaga pendidikan formal ini menjadi lembaga pertama berbasis keagamaan di wilayah Mengare. Namun, Madrasah Ibtidaiyah (MI) ini baru resmi diakui dan terdaftar pada tahun 1960. Hal ini seperti yang tertera dalam Piagam Pengakuan.
Keberadaan Tsamrotul Ulum sejak berdirinya terus berkembang dan mendorong berdirinya sekolah penunjang yang berada dalam satu naungan, diantaranya yakni Madrasah diniyah (Madin), Kelompok Belajar Muslimat Nahdlatul Ulama (KBM NU), Roudlotul Athfal Muslimat Nahdlatul Ulama (RAM NU), serta beberapa sekolah lanjutan lainnya yang ada di Mengare.
Tsamrotul Ulum, Dulu dan Sekarang
Menyandang predikat madrasah pertama di Mengare, Tsamrotul Ulum tidak bisa lepas dari sosok kiai fenomenal. Kiai ini merupakan santri dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Ia adalah KH Ahyad, yang mempunyai nama kecil Ahmad Lazim.
KH Ahyad diceritakan pernah nyantri hingga di Pulau Madura. Ia juga pernah belajar di Pesantren Maskumambang Gresik serta menimba ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia dinikahkan dengan cucu KH Hasyim Asyari yaitu Siti Zubaidah pada saat mondok di sana.
Dalam waktu yang cukup lama, bentuk pendidikan yang ada hanya sebatas ngaji bandongan yang diampu oleh KH Ahyad. Aktifitas itu dilakukannya di atas sebidang tanah yang selanjutnya disebut Langgar Dempok, ia adalah saksi keberadaan ilmu keagamaan ditanam dan disebar dan cikal bakal Tsamrotul Ulum sekarang.
Berawal hanya sebagai pendidikan non-formal, KH Mahfudz (a Founder of The First Madarasah in Mengare) bersama beberapa tokoh masyarakat lain menganggap serius ide tentang pendidikan formal dan sepakat untuk mendirikan MI sebagai jalan menyiapkan generasi Mengare belajar secara baik dan terjamin. Ide itu pun akhirnya terealisasi pada tahun 1956.
Refleksi 68 Tahun Tsamrotul Ulum
Dalam sesi upacara Harlah ke-68 Tsamrotul Ulum, Kepala Madrasah Ustadz Amali mengatakan, banyak hal yang harus terus ada dan dijaga oleh madarasah untuk menjaga kualitas. Peringatan harlah kali ini mengusung tema “Tsamrotul Ulum semakin jaya, maju dan dipercaya serta mencetak generasi yang berakhlaq budi pekerti baik,” ucapnya.
Kemeriahan Harlah kali ini kian terasa lantaran dihadiri seluruh peserta didik mulai dari KBM NU 74, RAM NU 53, MI Tsamrotul Ulum, pengurus madrasah, stakeholder dan dewan guru serta mahasiswa KKN dari STIT Raden Santri Gresik, serta masyarakat sekitar madrasah. Dan diisi dengan serangkaian acara, mulai dari khatmil Qur’an, upacara, pemotongan tumpeng, seremonial pelepasan 500 balon dan tahlil.
Pelaksanaan upacara dipimpin oleh cicit KH Ahyad, Gus Muhammad As’ad. Dalam amanatnya, ia menyampaikan harapan agar semua yang terlibat dalam madrasah ini terus menjunjung tinggi nilai yang ditanam oleh para pendahulu.
Selain itu, Gus As’ad juga mengajak terus berinovasi dalam mengembangkan mutu pendidikan agar dapat bersaing dan menjadi pijakan mimpi bagi anak-anak Mengare.
“Mari pastikan menapaki tahun ke-68 ini, menjadi refleksi bagi kita untuk menjamin masa depan yang lebih cemerlang lewat masa depan kita, anak-anak MI Tsamrotul Ulum”, tutupnya.
Penulis: Atiq Mujahid
Editor: Chidir Amirullah