Oleh: Abdul Jalil*
KOLOM KALEM | NUGres – Masa tenang pada momen Pemilu 5 tahunan, mungkin justru menambah gejolak pada hati dan pikiran sebagian orang, di antaranya: peserta atau calon, tim pemenangan, tim sukses, penyelenggara tingkat pusat hingga TPS, dan orang-orang yang secara sengaja menaruh harapan pada calon tertentu.
Memang ketenangan tidak bisa ditentukan dengan jadwal. Hati yang tenang itu bukan kesengajaan beralih dari hal yang menyusahkan. Akan tetapi, hati yang tenang adalah dampak atau efek ketika seseorang bisa perlahan menerima apapun yang dikenakan pada dirinya.
Sebagai manusia kita tidak bisa memilih kapan harus merasakan senang atau tenang, kapan harus menghadapi sedih atau susah. Jenis perasaan yang responsif itu seringkali muncul secara otomatis saat sesuatu datang kepada kita.
Pada momen pemilu, tentu tidak semua dari kita merasa terbebani. Tidak semuanya ikut merasa bergejolak dengan info-info kampanye atau calon-calon yang terus “awe-awe”.
Di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang bersikap “bodo amat” dengan pemilu. Tapi bukan untuk tujuan golput, atau mangkir hadir ke TPS menunaikan haknya. Mereka akan tetap datang ke TPS untuk menghargai para penyelenggara tingkat desa yang susah payah membantu menyukseskan momen yang disebut “Pesta Demokrasi”.
Sudah bagus ada kata “Bebas” dan “Rahasia” yang termaktub dalam 6 asas pemilu. Kebebasan berpendapat, berkehendak, berkeinginan, dan menentukan pilihan tidak akan menjadi masalah jika berada dalam bingkai “Rahasia”.
Setiap orang yang bukan dimandati sebagai tim pemenangan akan relatif lebih tenang dan tidak terganggu ketika bisa menerapkan kebebasan yang rahasia. Obrolan di tongkrongan relatif terjaga kondusif, hubungan pertemanan relatif aman, dan grup WA juga berjalan sebagaimana tujuan utama, yaitu mempererat silaturahmi.
Namun, tidak menutup kemungkinan bagi para petugas kampanye atau peserta Pemilu untuk bisa meraih tenang. Mereka juga pasti memahami dirinya masing-masing dan memiliki kemampuan untuk menata diri.
Kiranya masa tenang ini bisa menjadi waktu untuk meredam keinginan yang menggebu-gebu. Usaha yang nampak dalam perilaku boleh terlihat sungguh-sungguh. Tapi keinginan yang berada pada angan, pikiran, dan hati selayaknya bisa diredam. Tidak lain, untuk manajemen risiko ketika yang diinginkan tidak keturutan.
Cocok dengan salah satu bait lagu Iwan Fals, “keinginan adalah sumber penderitaan..” dalam lagu berjudul “Seperti Matahari”. Semakin kita memupuk keinginan kita, semakin kuat kesedihan yang dirasakan ketika tidak kesampaian.
Dan ketika keinginan itu intensitas dan kekuatannya meningkat pada diri seseorang, maka akan sulit menemukan rasa tenang. Karena rentan diserang was-was dan kekhawatiran. Banyak orang yang siap menang, hingga lupa menyiapkan manajemen risiko ketika ternyata harus menghadapi ‘kekalahan’.
*Abdul Jalil, Guru BK SMK Islamic Qon Gresik