GRESIK | NUGres – Ada alumni, ada pula yang enggan disebut begitu hingga lebih nyaman mempertahankan status sebagai santri. Bukan tanpa alasan, namun demi tetap terhubung dengan Kiai serta melestarikan ajaran dan nilai-nilai luhur di Pesantren sepanjang hayatnya.
Beberapa santri produktif membuat tulisan. Baik berupa kesan ketika bersama dengan sohib sekamarnya, tentang ustaz idola yang menginspirasinya, atau bahkan mengabadikan dawuh sang Kiai yang menjadi panutannya.
Namun hal berbeda justru ditunjukkan oleh 11 Santri Sampurnan Bungah Gresik, Jawa Timur. Mereka melanggengkan namanya dalam sebuah buku berjudul; Resiliensi NU di Abad Kedua, Catatan Reflektif Halaqah Peradaban Santri Sampurnan.
Hasan Mahfudz dkk. dalam buku tersebut berupaya mengarsip dan mendalami Fiqih Peradaban yang digerakkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada momentum perayaan Satu Abad NU, beberapa waktu lalu.
“Rujukan dan referensi yang digunakan pada penulisan buku ini berbasis pada analisis taksonomi yang berfokus pada tokoh-tokoh tertentu. Bahkan, data yang diambil terbatas pada rekaman video Halaqah yang beredar di Youtube,” kata Mahfudz pada pengantar buku, dikutip NUGres, Sabtu (2/6/2023).
Buku besutan Kanugrahan Press bekerjasama dengan Penerbit Stelkendo Kreatif, Yogyakarta, ini mendapatkan perhatian dari Katib Aam PBNU KH Said Asrori melalui kata sambutan, Prolog dari Pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin KH Muhammad Alauddin, hingga Epilog dari Wakil Bupati Gresik Hj Aminatun Habibah.
“Ala kulli hal, kami rasa, risalah ini menjadi buku pertama yang lahir dari serangkaian kegiatan Halaqah Fiqih Peradaban yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di 270 titik pesantren-pesantren. Seperti menjelajah ombak besar di tengah samudera, risalah ini, haqqul yaqin, bisa menjadi kompas bagi jama’ah Nahdlatul Ulama dalam membaca, memahami dan menelaah pemikiran-pemikiran para kiai, cendikiawan dan sarjana yang berkompeten dalam menyebarkan wawasan dan keilmuan Nahdlatul Ulama. Semoga.” tutur Kiai Said Asrori dalam buku tersebut.
Sedangkan dalam prolognya, KH Muhammad Alauddin menuliskan tentang peradaban dibangun atas dasar fikih. Fikih yang tidak kaku tapi juga tidak lembek.
“Dan Nahdlatul Ulama (NU)-dengan ketersambungan sanadnya-meneruskan estafet perjuangan para penyebar Islam di Nusantara. Mengakomodir budaya lokal yang sesuai dengan wahyu, dan mengamputasi tradisi yang menyimpang atau berpotensi mendatangkan kerusakan. Lantunan tembang lir-ilir mengalun syahdu diiringi tabuhan gamelan. Praktek poliandri diberantas dengan penahbisan Yudhistira sebagai satu-satunya suami bagi Drupadi.” kata Kiai Alauddin.