BUNGAH | NUGres – Kajian kitab Arbain Nawawi yang digawangi Aswaja Center MWCNU Bungah, bersama Lembaga dan Badan otonom NU di Bungah terus berlanjut hingga pertemuan ketiga, pada Senin, (27 Maret 2023).
Pada temu ketiga ini, Kajian disampaikan oleh Ustaz Ajir Muzakki yang merupakan Wakil Ketua MWCNU Bungah. Ia yang juga Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Qomaruddin.
Ada yang berbeda dari pertemuan sebelumnya, biasanya Qori atau pengkaji hanya mengandalkan kitab kuning saat menyampaikan pengajian. Namun, pertemuan ketiga ini, Qori menggunakan alat bantu laptop. Ini karena sang Qori atau pengkaji malam ini adalah seorang ustaz berlatarbelakang akademisi.
Selanjutnya, dua hadis yang dibaca pada pertemuan ketiga kali ini. Hadits yang pertama yakni hadits nomor 5 diriwayatkan oleh Ummul Mukminin, Aisyah R.A. Hadis ini penting disampaikan karena memuat tentang perkara Bid’ah.
Ustaz Ajir menyampaikan, Bid’ah adalah hal-hal baru yang tidak bersumber dari Nabi. Bid’ah syariah sendiri diartikan sebagai ajaran atau amalan baru dalam beribadah yang tidak ada. Contohnya pada masa Nabi dan bertentangan dengan dasar dasar agama seperti Al-Qur’an, As-sunah dan juga Ijma’.
Lebih lanjut beliau menyampaikan, bahwa ada tiga unsur perbuatan manusia dapat dikatakan Bid’ah. Pertama, perbuatan itu dikatakan Bid’ah jika amal atau perbuatan itu tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah dan sahabat.
Kedua, jika amal atau perbuatan tersebut tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an, As-sunah dan Ijma’ baik secara tafsili maupun ijmali, baik dalam bentuk perintah, contoh maupun taqrir.
Kemudian yang ketiga, jika amal atau perbuatan tersebut telah diyakini oleh pelakunya sebagai bagian ajaran agama yang mesti dijalankan.
Para ulama sendiri membagi dua kategori Bid’ah berdasarkan statusnya. Pertama Bid’ah yang Muttafaq ‘alaih atau yang disepakati yakni Bid’ah yang disepakati oleh imam kaum muslimin dalam bidang aqidah, ideologi dan pemikiran yang membawa pada dosa besar bahkan kekufuran.
Kedua Bid’ah yang diperselisihkan, yakni amal yang dianggap Bid’ah oleh sekelompok ulama dengan hujjahnya namun dianggap boleh bahkan sunnah oleh kelompok yang lain dengan hujjah yang mereka punya.
Salah satu contoh Bid’ah yang masuk pada kategori Bid’ah kedua diatas adalah Bid’ah Hasanah, yakni hal-hal baru yang memiliki dasar dalam agama dan tidak bertentangan Al-Qur’an, As-sunah, Atsar sahabat dan Ijma’.
Selain itu secara fiqih para ulama juga membagi Bid’ah menjadi lima kategori, yakni: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Dalam memahami katagori Bid’ah ini, kita mengembalikan sebagaimana kaidah-kaidah syar’iyah.
Jika Bid’ah itu masuk pada prinsip kewajiban maka itu Bid’ah wajib seperti kewajiban mempelajari ilmu nahwu shorof sebagai dasar memahami Alquran.
Dan sebaliknya, jika perkara bid’ah itu mengarah pada pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan aqidah seperti pemikiran jabariah, qodariah dll, maka Bid’ah itu menjadi haram, dan seterusnya.
Selain membahas tentang persoalan Bid’ah pada pertemuan ketiga ini juga mengkaji hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abi ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir, yang kurang lebih artinya seperti ini;
”Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal yang samar (syubhat), sungguh dia telah memelihara agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh pada yang syubhat, akan terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan yang suatu saat akan memasukinya.”.
Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam, yaitu tentang hal-hal yang halal (boleh dilakukan) dan yang haram (tidak boleh dilakukan), serta syubhat (perkara antara halal dan haram).
Perkara halal itu sendiri dapat diketahui dari adanya Nash Al-Quran dan Hadis serta karena tidak adanya dalil yang mengharamkannya.
Sebaliknya, perkara haram dapat diketahui dari adanya Nash Alquran dan Hadist yang mengharamkannya. Perkara dapat dikatakan haram juga karena perkara tersebut dapat merusak diri. Lain itu, perkara halal bisa berubah menjadi haram apalagi perkara halal tersebut menjadi sarana sesuatu yang haram.
Selain perkara yang halal dan haram, terdapat pula perkara yang berada diantara halal dan haram tersebut, yakni disebut perkara syubhat.
Para ulama menurut Ibnu Daqiq berbeda pendapat dalam mengkategorikan perkara syubhat. Pertama memasukkan perkara yang syubhat sebagai sesuatu yang haram, apabila seseorang jatuh pada perkara yang samar maka sama saja ia jatuh pada perkara yang haram. Pendapat ini berpedoman pada Hadist Nabi; “Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara yang samar, maka dia menjaga agama dan kehormatannya.”
Kedua, memasukkan perkara yang syubhat sebagai sesuatu yang halal. Pendapat ini berpedoman pada hadis Nabi “Seperti pengembala yang mengembala di Padang milik orang lain”. Ini menunjukkan perkara halal, tapi meninggalkannya memerlukan sikap hati-hati.
Ketiga, terdapat pendapat yang mengatakan syubhat bukanlah halal dan juga bukan haram. Hal ini berdasarkan pada hadits nabi yang menyebutkan halal dan haram adalah sesuatu yang jelas.
Akhirnya, semoga kita dimampukan meninggalkan perkara-perkara yang masih syubhat sehingga kita masih tergolong sebagai orang yang bertakwa, dan menjaga kehormatan agama. Wallahu a’lam