*Oleh : Dr Muchammad Thoha
KOLOM KALEM | NUGres – Walaupun secara geografis berada di Pulau Jawa namun Bahasa Jawa yang digunakan di Gresik memiliki kekhasan atau tidak sama persis dibanding umumnya bahasa Jawa, lebih khusus lagi Jawa Mataraman sehingga walaupun sama-sama Jawa Timur tapi Bahasa Jawa Gresik berbeda dengan Bahasa Jawa Kediri, Tulungangung, Ponorogo, Bojonegoro dan sekitarnya.
Faktanya yang ada di lapangan, pembelajaran bahasa daerah bagi peserta didik di Gresik cukup merepotkan karena bahasa daerah yang diajarkan tidak biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari, padahal efektifnya pembelajaran bahasa adalah sambil digunakan dalam komunikasi harian, maka dalam benak peserta didik pasti timbul pertanyaan kenapa katanya bahasa daerah (bahasa lokal) tetapi dilokalitas mereka malah tidak digunakan.
Contohnya kata kuwi dan kae saja peserta didik akan tanya pada orang tuanya apa artinya, sementara orang tuanya juga tidak menggunakan kata-kata itu, karena orang Gresik tidak menggunakan kata penunjuk kuwi dan kae tapi iko dan iki, belum lagi kata-kata yang khas Gresik, misalnya, kata mene yang artinya besok, bukan sesuk sebagaimana yang diajarkan dalam buku bahasa daerah yang digunakan di sekolah-sekolah di Gresik.
Begitu juga kata pancet yang populer di Gresik kadang-kadang malah tidak dikenal masyarakat berbahasa Jawa selain Gresik karena untuk kata pancet ini mereka menyebut panggah yang sama artinya tetap, bahkan ada yang lebih khas lagi, seperti pangkeng (kamar), sayak (busana perempuan), keruk-keruk (berenda-renda), ketimang (ikat pinggang), jaro (pagar), baduk (teras bata), gadri (teras), kancur (rempeyek), gimbal atau godo (jajan gorengan yang dibungkus tepung), dak demen (tidak senang), ayok nang sang omah (mari ke rumah saya), tembungan (sepak bola).
Penunjuk person di Gresik juga memiliki kekhasan, biasanya di jawa kata panjenengan (kamu) digunakan bagi orang yang lebih tua atau dihormati, tapi untuk Gresik agak beda dengan beberapa variasinya, bagi orang yang lebih tua atau dihormati, untuk menyebut kamu digunakan kata ndiko (handiko/andiko), sedangkan yang lebih tua pada yang muda digunakan siro, untuk menyebut yang selevel digunakan riko dan yang menunjukkan keakraban digunakan keno (peno), dan ada juga yang agak kasar yaitu koen, sehingga panggilan kamu dengan sebutan kowe sangat jarang sekali didengar di Gresik, adapun penunjuk diri paling khas di Gresik adalah kata eson (saya) atau reyang, contoh dalam kalimat kepek riko eson gowo (tas kamu saya bawa).
Berangkat dari kekhasan inilah maka cukup sebagai dasar bila kita mengawali menyusun buka pelajaran bahasa daerah yang sesuai dengan bahasa yang digunakan masyarakat Gresik karena Banyuwangi saja sudah mengajarkan Bahasa daerah sesuai bahasa yang digunakan masyarakat asli Banyuwangi (Bahasa Osing) yang memiliki beberapa kesamaan dengan bahasa Jawa Gresik dan ternyata kalau diruntut dari sejarahnya Gresik dengan Banyuwangi memiliki hubungan yang bersimpul di Sunan Giri, tokoh ikon Gresik kelahiran Banyuwangi. Berbeda dengan Situbondo, walaupun wilayahnya berada di pulau Jawa namun bahasa daerah yang diajarkan Bahasa Madura karena bahasa ini yang banyak digunakan masyarakat daerah itu.
Namun sekarang ini di Pemerintahan kabupaten, bahasa Gresikan lebih terasa dibandingkan awal awal ibu kota ini pindah di alun alun, karena pada waktu itu yang mimpin dan sebagian besar aparaturnya berasal dari luar Gresik bahkan tidak sedikit yang kala itu Gresik hanya dijadikan ladang kerja saja pulangnya tetap ke Surabaya sehingga kurang memiliki hubungan bahasa dan tradisi budaya walaupun setiap hari berada di Gresik, maka ada baiknya bila di even-even yang diselenggarakan Pemkab, misalnya lelang bandeng, jika pembawa acaranya harus menyelipkan bahasa jawa maka harus jawa gresikan.
Dulu pernah saat melihat lelang bandeng petugas yang meramaikan acara dipanggung mengatakan “nyedak neng panggung le” (mendekat ke panggung nak) ketika memanggil anak laki-laki, dari kalimat itu jelas yang mengucapkan bukan orang Gresik, karena untuk kalimat itu dalam bahasa Gresikan bunyinya, “mareko nok panggung cung”, panggilan le (tole) hampir tidak dikenal di Gresik yang ada cung atau kacung beda sedikit dengan bahasa Madura yang menyebut anak laki laki cong atau kacong.
Biasanya di Jawa panggilan bagi sesama perempuan yang sudah berkeluarga adalah jeng, tapi panggilan itu tidak dikenal di Gresik karena untuk panggilan itu yang ada adalah nduk, misalnya nduk Romlah (jeng Romlah), nduk kaji salamah (Jeng Haji Salamah). Perbedaan panggilan itu juga ada dalam keluarga, misalnya panggilan bulik pada masyarakat asli Gresik kota tidak dikenal karena adanya bibik, panggilan laki laki paklik tidak dikenal tapi paman, sedangkan bude disebut uwak nduk (uwak ning/uwak yu/mak ning) adapun pakde disebut uwak gus (pak uwak).
Beberapa bahasan diatas merupakan sebagian bukti adanya kekhasan Bahasa Jawa Gresikan sehingga ada baiknya untuk merintis pembentukan tim penyusun buku ajar Bahasa jawa Gresikan sebagai sarana pelestarian bahasa asli gresik melalui jalur formal pendidikan, sehingga keberadaan bahasa asli Gresik yang telah lama digunakan tidak menjadi bahasa asing di daerahnya sendiri.
*Dr Muchammad Thoha, Pemerhati Budaya Gresik