NUPEDIA | NUGres – Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mewedar sejumlah pemikiran dan visinya dalam buku berjudul “PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama; Tajdid Jam’iyyah Untuk Khidmah Millenial”.
Terdapat lima bab yang ia sampaikan dalam buku tersebut. Lima bab itu yaitu: Islam di Tengah Dunia yang Berubah; Merintis Peradaban baru; Mengenali Jati Diri dan Kehendak Organisasi; Menuju Pemerintahan Nahdlatul Ulama; dan; Makrifat Organisasi dan Takdir Peradaban.
Seolah memahami pembaca bakal kewalahan membaca cakrawala pemikiran Gus Yahya, menjelang akhir buku ini Gus Yahya membuat sebuah ikhtisar. Poin-poin lima bab itu diringkas menjadi sedikitnya 17 poin.
Berikut ini 17 poin ikhtisar yang selanjutnya Gus Yahya menyebutnya sebagai Makrifat Jati dan Makrifat Dharma:
1. Bahwa Nahdlatul Ulama adalah keseluruhan perkauman yang merupakan bibit peradaban, seperti Bani Israil dibawah pimpinan Nabi Musa ‘Alaihissalam, seperti kaum Muhajirin dan Anshar dibawah bimbingan Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti rombongan Raden Wijaya yang berhijrah dari Daha dan membedah hutan Maja;
2. Bahwa secara hakiki lingkup “tempat tinggal” dan kiprah Nahdlatul Ulama sejak de facto keberadaannya adalah keseluruhan peradaban dunia, bukan hanya Nusantara atau Indonesia, apalagi sekedar lingkungan subkultur pesantren, dan pergulatan selama hampir satu abad ini telah membawanya dari lingkungan lokal dan subkultural menembus ruang kiprah global dan universal;
3. Bahwa perjuangan menuju cita-cita peradaban berarti ikhtiar transformasi masyarakat dari kemapanan peradaban lama yang merosot menuju fajar peradaban baru yang lebih baik dan penuh harapan;
4. Bahwa Nahdlatul Ulama bekerja dalam panduan nilai-nilai ahlus sunnah wal jama’ah dengan warisan tradisi pesantren sebagai habitus (modal budaya yang telah meresap sebagai adat, ketrampilan dan kecenderungan yang tertanam secara mendalam) untuk menanggapi realitas masyarakat dan kesejarahan dari waktu ke waktu menuju cita-cita peradaban yang mulia, yaitu untuk mewujudkan tata dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis yang didasarkan atas penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat di antara sesama umat manusia;
5. Bahwa termasuk di antara habitus yang diwariskan oleh tradisi pesantren itu adalah kemampuan bashirah ruhaniyyah (ketajaman mata batin) dari para ulama shalihin sebagai buah barokah dari istikamah dalam ilmu, ri’aayah dan keikhlasan;
6. Bahwa demi perjuangan untuk mewujudkan cita-cita peradaban mulia itu Nahdlatul Ulama secara mutlak membutuhkan NKRI yang kuat sebagai titik tolaknya;
7. Bahwa upaya transformasi masyarakat untuk perbaikan peradaban itu mensyaratkan diperluasnya sasaran khidmah Nahdlatul Ulama, tidak melulu untuk warganya sendiri saja tapi secara inklusif mengabdi bagi kemaslahatan umum;
8. Bahwa kehendak untuk mengupayakan transformasi masyarakat itu menuntut Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) untuk secara nyata dan lumintu (terus- menerus, tak putus-putus) melibatkan diri dalam masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang-bidang yang luas, baik dengan upaya membina vokasi masyarakat (kemampuan untuk menangani masalah di berbagai bidang) maupun upaya advokasi (dukungan dan pembelaan) terhadap kebijakan-kebijakan publik yang relevan, yang semua itu berarti melembagakan dalam organisasi tradisi ri’aayah yang dihidupi oleh kiai-kiai pesantren;
9. Bahwa tempuhan ke depan dalam upaya transformasi masyarakat itu menuntut Nahdlatul Ulama untuk mentransformasikan organisasinya, dari konstruksi lama yang sudah menua (hampir 70 tahun, sejak 1952) dan semakin kedaluwarsa, menuju konstruksi baru yang lebih menjamin ketangkasan, keuletan dan keluwesan organisasi dalam menyiasati dinamika perubahan masyarakat yang pada era millenial ini kedalaman pengaruh, skala kompleksitas dan akselerasi kecepatannya belum pernah ada presedennya dalam sejarah;
10. Bahwa konstruksi organisasi Nahdlatul Ulama dalam hal ini menyangkut penetapan agenda-agenda strategis dan prinsip-prinsip pengelolaan eksekusinya, yaitu desain struktur dan mekanisme-mekanisme kerja secara kualifikasi pengampunya;
11. Bahwa agenda-agenda strategis itu harus ditetapkan dengan cara pandang yang realistis dalam garis nalar yang padu (koheren) antara target capaian global, nasioanl, dan lokal serta disusun dalam sistematika program yang merupakan pembagian tugas secara sektoral di antara lembaga-lembaga dan banom-banom secara hirarkis dari PBNU hingga ke PCNU;
12. Bahwa program harus berorientasi pada bentuk-bentuk kegiatan (output) dan proyeksi dampak (outcome) yang kongkret dan terukur;
13. Bahwa PBNU harus difungsikan untuk memimpin mobilisasi sumberdaya-sumberdaya, mendistribusikannya kepada lembaga, banom, PWNU dan PCNU berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan dan pengendalian eksekusi program, serta menetapkan regulasi bagi tata kelola organisasi dan untuk mengatur akses kepada layanan-layanan organisasi;
14. Bahwa Cabang-cabang, baik NU maupun banom, harus menjadi ujung tombak eksekusi program;
15. Bahwa Wilayah, baik NU maupun banom, berfungsi mengkonsolidasikan Cabang-cabang dan menjadi simpul koordinasi di antara Cabang-cabang dalam pelaksanaan program-program yang secara spesifik saling terkait;
16. Bahwa pelaksanaan program dikerjasamakan dengan berbagai pihak atas dasar kesamaan kepentingan;
17. Bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan harus sejak sekarang didorong lahirnya kebangkitan intelektualisme, teknokrasi dan kewirausahaan melalui wahana-wahana kaderisasi yang ada, baik struktural (kegiatan pelatihan reguler) maupun kultural (pesantren-pesantren).
“Ini seperti istilah Jawa, tapi bukan kejawen. “Makrifat Jati maksudnya ma’rifatun nafs, mengenali hakikat diri. Sedangkan “Makrifat Dharma” adalah ma’rifatut taklif, mengenali tugas atau peran yang dibebankan Tuhan dalam keberadaan diri. Keduanya harus dicapai oleh seorang ‘abid (hamba) dalam pergulatan untuk mencapai ma’rifatullah,” kata Gus Yahya di halaman 126, buku tersebut.
Lebih jauh, Gus Yahya menerangkan kalau pergulatannya dalam ber-NU adalah bagian dalam memburu makrifat.
“Barangsiapa ingin mengenal Tuhan hendaklah mengenali diri sendiri. Karena NU adalah identitas saya, maka tidak mungkin saya mencapai makrifat diri (ma’rifatun nafs) tanpa makrifat NU (makrifat jamiyyah). Husnul khotimah saya adalah apabila saya mati dalam keadaan telah memahami hakikat NU. Kalau tidak alangkah canggung sekali ” tandasnya.